Legenda Dewa Harem

Chapter 321: Berjalan di Taman



Chapter 321: Berjalan di Taman

Mendengar kata-kata itu, Randika langsung tersedak. Setelah menenangkan dirinya, dia berkata sambil tersenyum. "Hahaha bentar lagi kok tante, kami juga tidak buru-buru."

Benar, ngapain buru-buru menikah?

"Baiklah kalau itu mau kalian, tante cuma ingin kalian segera meresmikan saja."

Ketika kembali mengunyah makanannya, Ayu tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya Dika, anak kenalannya tante ini ada yang kena penyakit jantung, apa kamu bisa menyembuhkannya?"

Penyakit jantung?

Christina yang mendengarnya itu sudah menghela napasnya. Bahkan dengan teknologi jaman ini, penyakit jantung masih tidak dapat disembuhkan secara total. Yang bisa dilakukan oleh para dokter adalah mengendalikannya. Ini jauh berbeda dengan penyakit rematik yang disembuhkan oleh Randika kapan hari.

Namun, Ayu sendiri tidak terlalu berharap banyak karena dia sendiri mengerti penyakit ini seperti apa.

Randika berpikir sebentar lalu berkata dengan santai. "Bisa sih aslinya meskipun agak rumit."

Randika berani berkata seperti itu karena dia memiliki darah boneka ginseng bersamanya, asalkan bukan penyakit kanker atau tumor, seharusnya bisa disembuhkan. Dengan bantuan tenaga dalam dan metode pengobatan tradisional kakeknya, Randika seharusnya bisa menyembuhkannya.

Wajah Ayu langsung berbinar-binar. "Ini kabar yang luar biasa bagus! Apa kamu besok bisa ke tempatnya?"

"Aku ikut saja sama mertuaku." Randika diam-diam memanggil Ayu mertuanya lagi.

"Baiklah kalau begitu, besok aku akan membawa mereka ke rumahku."

Setelah makan malam mereka selesai, Ayu menyuruh anaknya itu untuk mengantar Randika jalan-jalan berdua di taman dekat sini.

"Kamu memang benar-benar pintar ya." Kata Christina.

"Tentu saja, kalau tidak mana mungkin aku bisa jadi calon suamimu?" Kata Randika sambil tertawa.

Meskipun terdengar sombong, Christina harus mengakui bahwa kata-kata Randika itu ada benarnya.

Mereka berdua bergandengan tangan dan bercanda ria sambil menikmati angin malam. Ketika mereka sedang menikmati momen ini, terlihat sebuah kerumunan.

"Hahaha."

"Monyet itu lucu sekali!"

"Lagi, lagi, lagi."

Kerumunan orang itu terlihat antusias melihat pertunjukan topeng monyet. Karena sudah lama tidak pernah melihatnya, Randika juga ikut bersemangat dan menarik Christina.

"Ayo kita lihat sebentar."

"Permisi, permisi." Dengan kekuatan yang dimiliki Randika, berjalan menuju depan kerumunan adalah hal yang mudah. Pada saat ini, dia melihat monyet itu sedang mengendarai sepeda super mini.

Ketika sedang mengayuh, monyet itu tiba-tiba berhenti dan mengangkat sepedanya. Lalu di hadapan orang-orang, ia berpura-pura mengangkat beban seperti di gym menggunakan sepedanya.

"Wah pintar sekali!"

Para penonton semakin bersemangat. Monyet itu kemudian menaiki salah satu orang dan duduk di pundaknya. Ia lalu meloncat dan naik kembali ke orang berikutnya. Tidak lupa dia mencium orang yang dinaikinya, hebatnya hanya perempuan-perempuan cantik yang ia panjat selama ini.

Randika juga bertepuk tangan sambil memeriahkan suasana. Pada saat ini, monyet tersebut mengambil sebuah topi dari pawangnya dan berjalan menuju orang-orang. Cara berjalannya itu sangat lucu dan orang-orang yang terhibur langsung memasukan uang mereka ke dalam topi.

Setelah semua uang terkumpul, monyet tersebut kembali ke pawangnya. Pawangnya lalu mengeluarkan sebuah cambuk dan mengayunkannya ke tanah.

"Berlutut!" Kata si pawang.

Ketika monyet itu mendengar kata-katanya, ia langsung berlutut dengan kedua kakinya. Para penonton langsung terpukau dengannya. "Wah monyet itu juga bisa berlutut?"

"Sejak kapan ada monyet sepintar itu?"

"Hahaha sepertinya dia lebih pintar darimu."

"Sialan kau!"

Orang-orang menikmati suasana meriah ini, namun pada saat ini, monyet tersebut sepertinya ingin berinteraksi kembali dengan para penonton jadi ia langsung berdiri dan berjalan menghampiri.

Melihat hal ini, si pawang mengerutkan dahinya dan mencambuk monyet tersebut.

"!!!"

Monyet tersebut langsung berteriak kesakitan sambil berguling-guling di tanah, punggungnya terkena telak. Namun herannya, sebagian besar penonton menganggap hal ini lumrah dan tertawa ketika melihat monyet itu kesakitan.

Randika dan Christina tidak tega melihat adegan ini. Meskipun mereka tidak mempunyai peliharaan, melihat binatang yang tidak bersalah ini disiksa seperti itu, siapa yang tega melihatnya? Apa lucunya melihat hewan disiksa sedemikian rupa?

"Cepat berlutut lagi!" Kata si pawang dengan wajah serius. Dia lalu kembali mencambuk si monyet tepat di kakinya.

Kali ini teriakan si monyet jauh lebih terdengar tragis. Takut dicambuk lagi, monyet itu segera berlutut dan terdiam sambil menahan rasa sakitnya.

Melihat monyet itu patuh lagi, para penonton kembali bertepuk tangan.

"Dasar monyet, dikerasi baru nurut. Kayak anak SD saja hahaha."

"Tapi menurutmu berapa lama si pawang itu mengajari si monyet?"

"Seharusnya tidak lama? Kan monyet saudara jauh kita."

"Tapi kalau lihat wajahmu bukankah mirip dengan monyet itu? Jangan-jangan malah saudara kandung kalian!" Mendengar hal ini teman-temannya ikut tertawa bersama-sama.

Di tengah tawa itu, si pawang masih menatap tajam pada si monyet. "Sekarang tepuk tangan! Cepat!"

Melihat cambuk di sampingnya, monyet itu langsung bertepuk tangan meskipun pelan. Hal ini justru membuat si pawang semakin marah.

"Kau mau makan tidak? Cepat kumpulkan uang buatku lagi atau aku kurung kau lagi tanpa makanan!" Kata si pawang sambil menjewer si monyet. Setelah selesai menjewer, si pawang tersebut mencambuknya sekali lagi!

Karena sudah tidak mau menurutinya lagi, monyet itu menghindar. Ia sudah muak diperlakukan seperti ini setiap harinya. Sedangkan si pawang memiliki anggapan bahwa kalau dia sendiri tidak keras seperti ini maka si monyet tidak akan menuruti dirinya dan ia tidak akan menghasilkan uang baginya.

Dengan suara yang keras, si pawang itu berteriak dengan lantang. "Berlutut atau kubunuh kau!" Pada saat ini, cambuk yang dibawanya itu dipukulkan berkali-kali ke tanah. Si monyet itu tidak punya pilihan selain menurutinya atau ia akan benar-benar mati.

Gilanya lagi, para penonton justru bertepuk tangan menyoraki si pawang.

"Sekarang pura-pura tidur!" Teriak si pawang sambil mencambukan cambuknya. Si monyet itu semakin lama semakin jengkel tetapi melihat pemiliknya itu menggunakan cambuk, ia benar-benar tidak berdaya.

Apa pun hewannya dan tidak peduli alasannya, manusia seharusnya tidak boleh menindas hewan seperti itu. Sebagai manusia, kita jauh lebih beradab daripada hewan dan harus menghargai mereka.

Monyet itu sudah marah, ketika ia melihat orang-orang di sekitarnya itu menertewai dirinya, monyet itu makin marah.

"Hahaha lihat wajah bodoh monyet itu."

Ketika monyet itu memperhatikan kerumunan, cambukan pawangnya itu mengenai dirinya lagi!

Bersamaan dengan cambuk ini, darahnya sudah mendidih dan insting hewan liarnya mulai bergejolak.

"Diam atau kubunuh!" Si pawang itu sekali lagi mencambuk si monyet.

Monyet itu akhirnya sudah tidak tahan lagi, dia meraung keras. Dia melompat-lompat berusaha untuk menyerang si pawang. Cambuk yang panjang itu telat melindunginya dan si monyet pun mendarat di wajah si pawang.

"Kik, kik, kik!"

Monyet itu menggigit telinga si pawang dan mencakar wajahnya. Tidak sampai di situ, dia juga menggigit lengan sekaligus mencakar badan si pawang. Dalam sekejap darah langsung mengucur ke bawah.

Dengan tenaga yang tersisa, si pawang akhirnya berhasil menangkap si monyet dan melemparnya ke tanah.

Sekarang, monyet yang telah dikuasai insting liarnya itu menatap arah kerumunan yang menertawai dirinya. Wajahnya terlihat sangat bengis!


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.