Legenda Dewa Harem

Chapter 167: Kakek Yakin Itu Bukan Obat Perangsang?



Chapter 167: Kakek Yakin Itu Bukan Obat Perangsang?

Namun, Randika memutuskan hari ini bukanlah hari yang tepat untuk menaklukan hati Viona. Setelah makan malam bersama orang banyak, Randika mengantar Viona pulang ke rumahnya dan dia pun langsung balik ke rumah.

Namun, ketika dia membuka pintu rumahnya itu, Randika tiba-tiba merasakan badannya menjadi kaku, matanya terbelalak dan tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak.

Dalam sekejap keringat dingin membanjiri dirinya!

Tubuh Randika, yang kekuatan misteriusnya telah ditekan, tiba-tiba tanpa peringatan meledak dan memberontak!

Perlawanan kekuatan misterius ini benar-benar tiba terlalu mendadak. Dalam sekejap, rasa sakit segera menumpulkan saraf Randika dan menguasai dirinya. Dia sama sekali tidak bisa menyebarkan tenaga dalamnya.

Punggungnya sudah basah oleh keringat, napasnya sudah terengah-engah. Randika hendak duduk dan bermeditasi agar dapat menyalurkan tenaga dalamnya. Namun, rasa sakit yang tajam tiba-tiba menusuk jantungnya dan membuatnya tersungkur.

Sambil menahan rasa sakitnya, kukunya menancap dalam di kedua lengannya dan kerusan gigi Randika terdengar keras. Rasa sakit di dalam tubuhnya terasa seperti organ dalamnya terpelintir semua, seolah-olah mereka ingin melepaskan diri.

Randika hampir tidak bisa bernapas, seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat hingga membentuk genangan air. Setelah tiga menit menahan sakit, rasa sakitnya itu perlahan menghilang.

Sama seperti hati gebetan kita, rasa sakit itu datang dan meninggalkan Randika dengan cepat. Randika mengangkat kepalanya dan berusaha menenangkan dirinya.

Jika serangan mendadak ini terjadi beberapa kali, sama saja Randika tidak bisa hidup dengan tenang.

Terlebih, rasa sakit ini bukanlah rasa sakit yang seperti biasanya dia rasakan. Serangan internal ini benar-benar mendadak dan tidak ada peringatan apa-apa.

Sambil mengerutkan dahinya, Randika mengambil handphonenya dan menelepon kakek ketiga.

"Kamu lagi, sekarang terkena masalah apalagi kamu?" Suara kakek ketiga terdengar jengkel.

"Kek, apa kakek sedang sibuk?" Randika memastikan kakeknya tidak sibuk.

"Bah, kau kira obat-obat ini bisa ngurus dirinya sendiri? Jika kamu nelepon untuk tanya kabar, kakek sedang sibuk." Kakek ketiga hendak menutup teleponnya.

"Tunggu! Jangan ditutup kek, ini tentang penyakitku." Randika segera panik.

Kakeknya mengerutkan dahinya sambil bertanya. "Bukankah aku sudah memberikan resep sup obatku?"

Randika tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Penyakit ini benar-benar kompleks dan misterius, Randika sendiri tidak tahu kenapa dia bisa mengidapnya.

"Baiklah kalau begitu, cepat pulang ke sini dan aku akan memberimu obat yang baru." Setelah itu kakeknya langsung menutup teleponnya.

Mendengar suara "tut, tut, tut." Randika hanya tersenyum pahit. Kakek ketiganya ini memang tsundere!

Setelah berpikir sesaat, Randika menelepon Inggrid.

"Halo sayang? Aku perlu pergi ke suatu tempat untuk beberapa hari, jadi kamu mungkin tidak mendengar kabarku selama itu. Tapi jangan khawatir, setelah aku balik nanti aku akan menebus semuanya dengan memberimu malam yang tidak terlupakan!"

Setelah berpamitan dengan Inggrid, Randika segera membereskan bajunya dan cepat-cepat naik bus ke Kota Kebon Raya.

....

Sesaatnya Randika tiba di Desa Jagad, pemandangan dan orang-orangnya sama sekali tidak berubah.

"Kakek keempat!"

Randika melihat kakeknya itu sedang bermandikan cahaya matahari pagi. Dia terlihat asyik memejamkan matanya sambil berbaring di kursi malasnya. Di sampingnya terlihat ada teh dan cemilan, kakeknya ini benar-benar sedang memanjakan dirinya.

"Hohoho, kakek kemarin meramal bahwa kamu akan pulang hari ini dan ternyata kakek benar." Wajah kakek keempat terlihat bangga.

Randika bergumam dalam hati, bukankah kemarin aku menelepon rumah?

"Randika kemarilah."

Pada saat ini, kakek ketiga keluar dari dalam rumah dan melambaikan tangannya pada Randika.

Kakek keempatnya juga ikut mengikutinya dari belakang.

"Pertama-tama mandilah dengan air hangat yang sudah kucampur dengan obat ini."

"Aku akan mengganti airnya setiap satu jam sekali sebanyak 5x."

Lima kali? Berarti lima jam!

Randika benar-benar terkejut, lima jam dia tidak ngapa-ngapain selain berendam?

"Sudah nurut saja, kamu ingin penyakitmu itu sembuh atau tidak?" Tatapan mata kakek ketiga terlihat tajam. Dia lalu menjewer telinga Randika dan menyuruhnya berbaring di dalam bak.

Setelah masuk ke dalam bak, kakek ketiganya menuangkan beberapa ember air hangat berisi obat.

Dalam sekejap, Randika merasakan kenikmatan duniawi. Dia ingin mendesah nikmat dan menikmati momen ini sambil memejamkan matanya.

Di setiap jamnya mengisi kembali bak itu dengan air hangat, kakek ketiga juga memeriksa titik akupuntur anaknya itu.

Setelah 5 jam, Randika keluar dari dalam bak dan kakek ketiganya langsung menyodorkannya semangkok sup obat.

"Minumlah selagi hangat."

Randika langsung meminumnya, dia sama sekali tidak menyisakannya.

"Tinggalah di sini selama seminggu." Kata kakek ketiga.

"Lama sekali!" Balas Randika.

Kakek ketiga menjadi marah. "Salahkan dirimu yang lemah itu, kau kira membuat obat itu gampang?"

Randika langsung tersenyum dan berusaha mengalihkan pembicaraan. "Omong-omong, mana kakek pertama dan kakek kedua?"

"Kakek pertama masih mengurung dirinya." Kata kakek ketiga. "Kakek kedua sedang keluar."

Randika masih tidak tahu kenapa kakek pertamanya itu mengurung dirinya. Sebelumnya kakek keempat pernah mengatakan bahwa kakek pertamanya itu sudah mengurung dirinya selama tujuh tahun dan enam bulan! Randika penasaran apa yang sedang dilakukan oleh kakeknya itu, apakah itu meditasi?

Mendengar kakek keduanya sedang pergi tidak mengherankan bagi Randika. Sudah pasti kakeknya itu masih ada di Jakarta.

Untuk 7 hari kedepan, Randika menjalani masa pemulihan bersama kakek ketiga dan bermandikan cahaya matahari pagi bersama kakek keempat. Kehidupannya ini benar-benar bagaikan liburan.

Selama 7 hari ini, Randika terus-menerus mandi air obat, dan pada saat yang bersamaan, kakek ketiganya meramu obat baru untuk dirinya.

Hari ini sudah merupakan hari ketujuh. Randika berdiri bersama kakeknya yang sedang mengaduk panci besar di atas tungku di dapur.

Kakek ketiga terlihat sibuk, dia terus-menerus menambahkan bahan ke dalam panci. Dia juga bertugas untuk mengatur suhu tungku.

"Cepat buka jendela yang di kanan itu."

Kakek ketiga terus memberikan arahan pada Randika sambil terus mengaduk. Tiba-tiba, sesaat setelah jendela itu terbuka, asap hitam mulai keluar dan cairan di dalam panci menjadi merah.

"Cepat tutup jendelanya!"

Randika menutupnya saat itu juga.

Kakek ketiga tetap terlihat fokus, dan pada saat ini, panci yang diaduknya itu tiba-tiba berguncang hebat. Panci itu sepertinya siap meledak kapan saja.

"Kek, panci itu tidak akan meledak kan?" Tanya Randika sambil bersiap kabur.

Kakek ketiganya menatap tajam Randika. "Kamu meragukan kakek? Apa kamu belum pernah melihat kakek meramu obat?"

Namun tiba-tiba, panci itu tiba-tiba berdesis dan mengeluarkan asap merah!

Hati Randika sudah mengepal dan dia sudah bersiap-siap. Apa kakeknya sudah lupa? Dulu dia sering menemani kakeknya ini membereskan sisa-sisa panci yang meledak, kalau hari ini meledak juga maka ini akan menjadi kasus ke-50 miliknya!

Namun, ekspresi bahagia nampak jelas di muka kakeknya. "Selesai!"

Sudah selesai?

Randika masih menahan napasnya, dia tidak akan lengah. Sedangkan kakeknya mengambil kapsul dan mengisinya dengan ramuan yang dia buat.

Kemudian kakeknya memberikannya pada Randika dalam wadah botol. "Nih bawa."

Randika membuka botol yang diberikan kakeknya itu dan melihat lebih dari 20 butir kapsul berwarna merah di dalamnya. Aroma obatnya sedikit aneh tetapi entah kenapa enak untuk dihirup.

"Apa ini kek?" Randika mengambil satu kapsul dan melihatnya dengan seksama.

"Itu obat untuk mengontrol penyakit di dalam tubuhmu, tetapi bisa dikatakan obat itu sebagai sarana pembantu." Kata kakek ketiga.

"Sarana pembantu bagaimana?" Tanya Randika.

Kakek ketiga membelai jenggotnya. "Jujur saja, penyakitmu ini sangat misterius. Selama ini kakek mengobatinya dengan banyak ekstrak bahan alami tetapi kali ini kakek memakai metode yang beda. Kakek memanfaatkan metode harmonisasi Yin dan Yang untuk menekan laju penyakitmu itu."

"Harmonisasi Yin dan Yang?" Semakin dia mendengar, semakin dirinya bingung.

"Setiap 15 hari kamu wajib minum 1 butir. Setelah meminumnya, kamu bisa berhubungan dengan perempuan lebih banyak lagi. Obat ini akan menahan gejolak penyakitmu ketika berhubungan badan."

Jadi serangan mendadak itu ada hubungannya dia berhubungan badan dengan perempuan?

Randika makin bingung.

Kakek ketiga menambahkan. "Tapi obat ini memiliki efek samping, setelah meminumnya nafsu birahimu meningkat dan kamu akan merasakan seluruh tubuhmu menjadi panas. Kamu tidak akan bisa mengontrol nafsumu itu."

Randika mengangguk dan melihat kapsul obat itu lalu berkata dengan wajah serius. "Kek, apa kakek tidak salah buat obat untuk vitalitas pria?"

"Bajingan, gitu caramu berterima kasih? Kamu kira kakek perlu barang begituan?" Kakek ketiga sudah menjewer telinga Randika saking marahnya.

"Ah, ah, sabar kek aku cuma bercanda. Habis penjelasan kakek tadi seperti memberiku obat perangsang." Randika tersenyum. "Jadi memang serangan mendadak kemarin itu berhubungan dengan perempuan ya?"

Kakek ketiga mendengus dingin. "Memang obat ini mirip obat perangsang, tetapi efeknya sama sekali tidak bisa dibandingkan. Itu cuma menurut kakek saja, obat itu juga akan menyerap tenaga dalam yang bersifat lembut pada dalam diri perempuan. Untuk mendapatkannya kakek tidak perlu menjelaskannya kan? Semakin kau menabrak rahimnya semakin bagus."

Randika terkejut, berarti semakin dalam penetrasinya semakin bagus? Kakek ketiga memang terbaik!

Tetapi Randika mengerti teori kakeknya ini. Semenjak dia berhubungan badan dengan Inggrid, dia semakin mudah terangsang dan badannya cepat menjadi panas ketika hanya foreplay.

"Sudah itu saja dari kakek. Sudah sana cepat pulang, nanti balik lagi ke sini kalau obatmu sudah habis." Kata kakek ketiga.

......

Setelah sampai di kota Cendrawasih, hari sudah malam. Randika langsung menuju rumah tanpa mampir-mampir. Ketika dia sampai di ruang tamu, Inggrid terlihat sedang duduk di sofa.

Randika tidak bisa berhenti tertawa di dalam hatinya. Dia ingin mencoba dan merasakan efek samping dari obat kakeknya itu.

Setelah meminumnya, Randika langsung merayap ke sofa. Dari belakang dia menutup mata Inggrid.

"Tebak siapa aku?" Randika menyamarkan suaranya.

Inggrid tersenyum dan menyingkirkan tangan Randika. "Siapa lagi kalau bukan kamu?"

Di balik semua ini, terlihat perubahan dalam diri Inggrid.

Tangan Randika yang disingkirkannya ternyata Inggrid taruh di atas dadanya!

"Istriku memang mengerti aku, suamimu ini sudah rindu denganmu." Randika tersenyum dan mulai meremas kedua dada Inggrid.

APA!? Tambah besar lagi?

Kekenyalan dan ukuran ini benar-benar luar biasa, apakah istrinya mengalami masa puber lagi?

Randika tertawa. Namun pada saat ini wajah Inggrid sudah merah dan dia berdiri. "Jangan aneh-aneh dulu. Hannah sebentar lagi pulang."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.