Legenda Dewa Harem

Chapter 191: Para Kakek yang Pergi



Chapter 191: Para Kakek yang Pergi

Setelah selesai mengurusi beberapa dokumen mengenai rawat inap Deviana, waktu sudah menunjukan pukul 3 siang. Randika sudah merasa malas balik ke kantor jadinya dia langsung pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Randika bertemu dengan Hannah yang sedang malas-malasan menonton TV di ruang tamu.

Dalam sekejap, mata Randika terbuka lebar karena pakaian yang dipakai oleh Hannah. Bajunya dia gulung hingga di bawah behanya, memperlihatkan pusarnya. Belum lagi behanya itu berwarna mencolok sehingga terlihat dengan jelas. Di saat yang sama, celana yang dipakai super pendek hingga Randika tidak bisa membedakannya dengan celana dalam.

"Ah kak Randika! Sini kita lihat TV sama-sama." Hannah menoleh dan menyadari Randika yang berdiri melongo, dia lalu mengundang Randika untuk nonton TV bersama-sama.

Bagi Randika melihat adik iparnya jauh lebih seru daripada TV yang isinya sinetron dan acara tidak jelas lainnya.

Tetapi Randika tetap duduk di sofa dan Hannah masih berpenampilan tidak senonoh itu. Bahkan dia mengambil remote TV dengan kakinya!

"Han, percuma kalau kamu berpakaian sexy gini tetapi tingkah lakumu mirip laki gitu." Mata Randika kembali menelanjangi Hannah meskipun dia sedikit jijik dengan tingkah laku adiknya itu. Randika benar-benar terpaku pada pusar yang nampaknya sedap itu!

"Kak tolong, sepertinya orang yang berpikiran mesum cuma kamu deh." Kata Hannah sambil tersenyum.

"Ah? Masa aku di matamu seperti itu?" Randika segera tidak terima. "Memangnya di mana lagi kamu bisa ketemu laki-laki sejati semacam aku?"

"Hahaha benar juga. Laki-laki lain lembeng semua." Hannah tersenyum dan menatap Randika. "Kak, apakah aku sexy?"

Randika kembali memperhatikan Hannah dari atas ke bawah, orang bodoh pun mana yang akan berkata tidak?

"Iya tetapi kakakmu jauh lebih sexy." Kata Randika, dia merasa bahwa pertanyaan adiknya itu adalah jebakan.

Hannah merasa marah ketika Randika membandingkan dirinya dengan kakaknya, dia langsung cemberut.

Randika memperhatikan kaki panjang dan mulus adik iparnya itu. "Han, sepertinya kakimu yang waktu masih sakit, mau aku pijat?"

"Pijat?" Hannah menatap Randika dan tersenyum dalam hatinya. Sepertinya kakak iparnya ini tidak bisa lari dari pesonanya.

Hannah benar-benar mendambakan kasih sayang dari Randika.

"Yahhh.. boleh deh, tapi yang enak mijatnya!" Hannah segera bergerak dan menempatkan kedua kakinya di atas paha Randika.

"Tapi jangan minta yang aneh-aneh setelah kamu memijatku, aku tahu kakak pasti punya pemikiran yang aneh." Kata Hannah sambil tersenyum.

Randika lalu memijat kaki mulus Hannah secara perlahan.

"Han, bagaimana toko bajumu?" Randika bertanya sambil terus memijat, kaki adik iparnya ini benar-benar enak dipegang!

"Semuanya berjalan dengan baik." Hannah merasa nyaman ketika kakinya dipijat. Tetapi kadang kakak iparnya ini jahil dengan menggelitik kakinya jadi dia sedikit menahan rasa tawanya.

"Eh kak, hentikan! Geli tahu, aku ini mudah geli." Hannah merasa kakaknya ini terus menggodanya.

"Geli?" senyuman nakal mulai naik di mulut Randika. "Kok bisa kamu mudah geli seperti ini?"

Setelah berkata seperti itu, pijatan Randika jadi ajang menggelitik Hannah hingga meminta ampun.

"Kak! Cukup! Hahaha, hentikan! Hahaha" Hannah tidak bisa berhenti tertawa. Randika memperhatikan Hannah yang tidak bisa berhenti tertawa dan memegang erat perutnya itu. Lama kelamaan tangan Randika merayap ke paha Hannah.

"Sudah kak! Hahaha, cukup! Aku sudah tidak tahan!" Hannah tidak pernah tertawa sebanyak ini sebelumnya.

Randika merasa paha adiknya benar-benar enak dan mulus, benar-benar perasaan yang menyenangkan.

"Sudah diamlah, kakak kan cuma memijatmu agar capekmu hilang." Kata Randika sambil tersenyum.

"Ini sudah bukan pijat, ini sudah penyiksaan!" Hannah tidak bisa berhenti tertawa.

Namun tiba-tiba, Randika mulai memijat paha adiknya itu.

Hannah akhirnya berhenti tertawa, setelah tertawa begitu lepas napasnya menjadi terengah-engah. Ketika kakaknya mulai memijat pahanya, sensasi nikmat mulai menguasai dirinya. Meskipun pahanya ini tergolong besar, semua ini karena dia rajin olahraga dan melatih otot pahanya.

Melihat Randika tidak berkomentar apa-apa tentang pahanya yang besar, hati Hannah terasa lega. Ejekan dari orang yang disukainya mungkin akan benar-benar melukai hatinya.

Sambil mengambil apel dari meja, Hannah bertanya. "Kenapa kakak sudah pulang? Apa pekerjaanmu sudah selesai?"

Setelah menggigit apelnya, Hannah mengunyah dan menunggu Randika menjawab. Tetapi anehnya, kakak iparnya itu hanya menatap dirinya.

"Hmm? Kenapa kak? Ada sesuatu di mukaku?" Kata Hannah dengan wajah bingung.

"Han, minta segigit ya." Kata Randika sambil menggigit apelnya.

"Ah!" Hannah terkejut dan apel yang di tangannya sudah tergigit oleh Randika.

Melihat hal ini, Hannah menjadi tersipu malu. Bukannya ini sama dengan ciuman tidak langsung?

Randika lalu tersenyum. "Han, buat apa mempermasalahkan hal kecil seperti itu?" Randika dapat menebak isi pikiran Hannah. "Bukankah kita sudah keluarga?"

Hannah sendiri masih memproses semua hal ini di otaknya, setelah berpikir sejenak, memang hal kecil seperti ini bukanlah hal aneh di antara keluarga.

"Lagipula aku sudah tidak lapar lagi." Hannah masih sedikit malu. "Kamu menggigitnya sudah cukup membuatku tidak mau makan lagi."

"Kalau begitu apelnya aku makan ya?" Randika menghampiri tangan Randika sambil tersenyum lebar.

Melihat wajah Randika yang berdekatan dengan dirinya, Hannah menjadi panik dan ingatannya tentang Randika dan Inggrid berhubungan badan terlintas di benaknya. Apakah kakak iparnya ini berusaha memangsa dirinya?

"Ah kak! Jangan dekat-dekat!" Hannah mendorong Randika, dia takut bahwa dirinya akan dipaksa berhubungan badan.

Randika bingung, kenapa adik iparnya ini tiba-tiba panik?

Sambil memakan apelnya, Randika meneruskan pijatnya dan Hannah menikmatinya sambil menonton TV.

Setengah jam kemudian, Randika merasa ngantuk dan naik ke lantai atas. Setelah melihat sosok Randika yang naik, Hannah menghembuskan napas lega.

Randika menutup pintu kamarnya dan mengambil HPnya. Ternyata ada panggilan tidak terjawab dari kakek ketiga.

"Ada apa kek?" Randika terdengar bingung, jarang sekali kakeknya ini menelepon dirinya duluan.

"Ran, kakek cuma ingin menyampaikan saja biar kamu tidak bingung. Kakek dan para kakek lainnya akan pergi sekitar 1 bulan." Kata kakek ketiga.

"Mau pergi ke mana kalian?" Randika makin bingung. Kakek ketiganya ini paling sayang dengan kebun obatnya jadi dia hampir tidak pernah pergi dari rumahnya. Belum lagi semua kakeknya akan pergi bersama?

"Kami mau mencari barang berharga di reruntuhan." Kata kakek ketiga. "Kami akan menginap di tempat itu selama sebulan jadi kami tidak bisa dihubungi. Kamu jaga diri baik-baik ya."

"Baik kek, kakek jangan khawatir." Jawab Randika.

Randika tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Lagipula, para kakeknya ini memang misterius. Meskipun Randika tahu kakek-kakeknya ini bukan orang sembarangan, dia tidak pernah melihat kakeknya ini memakai seluruh kekuatannya.

Randika mengunci pintu kamarnya dan menyalakan komputernya. Dia langsung menghubungi Yuna.

Tak lama kemudian, sosok Yuna tampil di balik layar.

Dadanya yang besar masih tetap sama dan kata-kata vulgarnya masih terdengar.

"Ran, kenapa sih kamu tidak pernah menghubungiku?" Yuna terlihat sedih.

"Hahaha maaf, bagaimana kabar markas kita?" Tanya Randika, dia tidak ingin berbasa-basi.

Melihat wajah serius Randika, Yuna langsung menjawab. "Markas kita telah selesai."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.